Mengenal Adat Balia Suku Kaili

Adat Balia Suku Kaili – Adat Balia adalah ritual tradisional suku Kaili di Sulawesi Tengah. Ritual tersebut diyakini sebagai obat segala jenis penyakit. Adat Balia suku kaili merupakan kegiatan yang sudah lama hilang dan ingin dihidupkan kembali. Adat Balia dahulu digunakan untuk mengobati, dn sampai saat ini masih sering digunakan oleh suku kaili.

Sejarah Kota Palu dan Suku Kaili Sulawesi Tengah

Sejarah dan Budaya Sulawesi Tengah

Berikut sekelumit tentang adat balia suku kaili.

Esensi upacara balia sebagai prosesi ritual balia palu adalah kegiatan berkomunikasi yang dilakukan oleh manusia dengan mkhluk gaib ( immateri ) yang diyakini adalah para leluhur mereka. Balia sebagai sarana komunikasi dimaksudkan untuk meminta kepada kekuatan immateri (leluhur/makhluk gaib) agar dapat menolong dari malapetaka atau menyembuhkan penyakit yg di derita manusia. Secara etimologi balia terdiri dari dua unsur kata yakni “bali dan ia” yang berarti “rubah/merubah dia” (seseorang yg mengalami sakit).

Dalam prosesinya ritual balia lazim dilakukan selama 3-4 hari dengan menyuapkan sesajen terdiri pulut warna-warni, telur, ayam dan kambing., dimulai dengan syarat harus menyiapkan daun “go” (daun suci yg diyakini memiliki kekuatan) oleh seorang “bule” yg bertugas sebagai pendamping lima orang “sando dan tina nu balia” yang memimpin ritual balia. Daun go akan ditempatkan tepat di tengah arena balia yang diyakini menjadi kekuatan pengendali,prosesi balia diisi dengan nyanyian yang mengiringi tarian yg disebut dgn “Nondolu” dengan diiringi “gimba dan gong”.

Nondolu dilakukan secara berputat dengan mengitari sesajen dan sisakit yg di ikuti dengan prosesi menombak kaki kambing untuk diambil darahnya dan darah ayam. Prosesi ini nanti diakhiri dengan mandi ritual nompaura dan menginjak api dari daun kelapa kering yg dibakar sbg simbol keyakinan akan kekuatan baru yg dimiliki si sakit setelah sembuh.

Dalam pelaksanaannya adat balia pada masyarakat Kaili memiliki beberapa jenis dan tingkatan dalam pelaksanaannya dengan klasifikasi berdasarkan kelas sosial masyarakat yg mengalami persitiwa, situasi atau musibah yg terjadi. Adapun jenisnya :

1. Balia Bone : adalah tingkatan terendah dalam rangkaian upacara balia yg dimaknai sebagai prajurit kesehatan terbanyak dan terbesar seperti tumpukan pasir (bone) yg sanggup memadamkan api, tingkatan balia ini diperuntukan bagi masyarakat bawah dengan jenis penyakit ringan. Dlm pelaksanaannya tdk membutuhkan waktu lama dan peralatan yg banyak dan biasanya hanya dipimpin satu orang sando.

2. Balia Jinja : Balia yang dilakukan dengan gerakan melingkar (round dance) dengan melibatkan banyak orang mulai dari sando, bale, si sakit dan diikuti dengan pengunjung yg hadir dengan mendedangkan secara bersama dondolu, dan rata2 mereka akan mengalami kesurupan.

3. Balua Tampilangi : Diibaratkan sebagai adanya pasukan penyembuh yg bergerak cepat dari kayangan. Balia ini adalah kategori tingkatan tertinggi dengan kesakralan dan bernilai magis krn didalamnya termuat secara keseluruhan gerak dari balia bone dan balia jinja serta harus memenuhi syarat tahapan khusus dalam upacara penyembuhan dengan waktu pelaksnaan selama 3-4 hari dan tahapan pelaksanaan sebanyak dua bagian. Biasanya balia tampilangi diperuntukan bagi golongan bangsawan dengan memilih lokasi tertentu.

Dalam pelaksanaan balia tidak lazim dilakukan di pesisir pantai karenn adat balia lazim dilakukan masyarakat pedalaman yang tinggal di wilayah dekat dengan sungai sebagai tempat yang dituju untuk pelaksnaan nompaura atau mandi bersih. Musik ritual Balia tdk lazim menggunakan “Lalove”.

Prosesi adat Balia suku kaili diawali dengan berkumpulnya para pelaku di bantaya dengan menyiapkan seluruh kebutuhan yg diperlukan dan menyepakati jenis balia yg akan dilakukan sesuai dengan jenis dan peruntukannya.
Dalam kegiatan festival Nomoni, ada indikasi kegiatan ritual balia tidak dilakukan secara proporsional sesuai tingkatan dan peruntukannya tetapi di campur aduk dengan mengacaukan esensi ritual tsb sebagaimana mestinya.
Satu catatan yang menarik untuk di renungkan dlm ritual balia di Festival Nomoni bahwa pelaku yang memimpin ritual adalah mereka yang ditunjuk mewakili wilayah Balaroa. Petobo dan jono oge padahal Ritual balia dilaksanakan di Besusu.

Ada baiknya Balia tifak perlu di visualisasikan dalam ritual mungkin lebih baik di simbolkan dalam gerak tari sehingga lebih memberi makna terhadap nilai seni.

Medio, 20 oktober 2018
Nisbah ( pemerhati Budaya)
Secuil coretan yangg mungkin berguna memahami tradisi Balia dalam esensi dan pelaksanaannya.

Dari uraian ini, memang penting membedakan “memperagakan ritual” dengan “melakukan ritual”. Itulah yang sama maksudnya bahwa dalam konteks menjadi penting disosialisasikan. Perlu kesamaan persepsi dulu tentang Ritual yang dilakukan apakah sebagai peragaan (dalam konteks pentas seni) atau memang ritual secara subtansial.

Perlu dilakukan sosialisasi konteks untuk pencerahan warga tentang adat balia suku kaili yang digunakan sebagai budaya dalam pelaksanaan palu nomoni. Perlu diingat rasionalisasi apapun yang dibangun dengan mengatasnamakan kepentingan budaya, eko, pendidikan, politik dan sebagainya harus diletakkan dalam bingkai dan standar nilai-nilai aqidah.

Bila bertentangan dengan praktiknya dalam arti bukan merupakn sebuah interpretasi sesuai dengan nilai-nilai aqidah menurut ahlinya maka kegiatan adat balia yang dihidupkan dalam palu nomoni harus ditolak. Masyarakat tidak boleh memaksakan interpretasi keilmuan duniawi atas keberlakuan dan praktiknya diatas basis aqidah. Sehingga pada pelaksanaan budaya balia dalam palu nomini harus hati-hati dan bersedia mendengar alim ulama sebagai sumber yang dapat mencerahkan.

Perfektif adat balia suku kaili dalam hukum islam dibahas oleh ZAIFULLAH, (2013)  dengan judul Upacara Penyembuhan penyakit Adat Balia Etnis Kaili Kota Palu Dalam Perspektif Hukum Islam. Dibahas dalam tesis S2 di Universitas Negeri Makassar. Ringkasan mengenai Upacara Penyembuhan penyakit Adat Balia Etnis Kaili Kota Palu yang bertujuan untuk (1) Mendeskripsikan proses pelaksanaan upacara penyembuhan adat Balia, (2) Menganalisis pandangan orang Islam terhadap upacara adat Balia etnis Kaili Sulawesi Tengah.

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode pengumpulan data, observasi, wawancara dan dokumentasi sedangkan metode analisis data yang dipakai adalah reduksi data, pemaparan data, penarikan kesimpulan dan verifikasi. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa terdapat tiga unsur simbol instrumental tujuan dalam ritual pelaksanaan upacara penyembuhan penyakit adat Balia. (1) tahap persiapan, (2) moraro dan (3) syair vadi.

Ditinjau dari perspektif hukum Islam pelaksanaan upacara penyembuhan penyakit adat Balia terbagi atas, petama makna dan simbol yang sesuai dengan syariat Islam yaitu, (1) persisapan jenis makanan, (2) Pohon tebu dan pisang dalam keadaan utuh ditanam sekitar tempat upacara adat (3) Parang (Taono) dan tampi (tombak) digunakan pada waktu menombak hewan korban (Moraro). Kedua Makna dan simbol yang tidak sesuai dengan syariat Islam yaitu, (1) Moraro Mempersiapkan hewan sebagai korban upacara dan menjadi sasaran tombak pada saat upacara adat Balia. (2) Syair vadi, yang digunakan sando sebagai bentuk pujian, doa-doa, atau permohonan kepada makhluk halus, roh leluhur atau dalam kepercayaan masyarakat etnis Kaili disebut dengan anitu.

Check Also

Sewa Baju Adat Di Banyuwangi: Menyatu dengan Pesona Budaya Lokal

Temukan keindahan dan makna budaya Banyuwangi melalui Sewa Baju Adat Banyuwangi. Dengan motif batik yang …